Rabu, 07 September 2011

Cerpeli #4 pesan-pesan dalam kata

jari-jariku masih sibuk memijat tuts-tuts karakter di panel laptopku. sebentar-sebentar kupencet spasi untuk memisahkan satu kata dengan yang lainnya. aku tidak sedang memulai sebuah cerita. hanya sedang mencoba menggambarkan apa yang sedang kulihat dan kurasakan di atas alas tidurku. pada spasi terakhir aku berhenti. setelah kata "kamu". sulit menuliskannya, aku tak melihatmu sekarang ini, hanya merasa. dan akhirnya aku memutuskan berhenti menulis kali ini. menuju ke lemari pendingin, menuang air ke mug yang bergambar kita. hadiah darimu waktu aku merampungkan usiaku sebagai pemuda belasan tahun. tersenyum sebentar, mug ini hampir tidak pernah kucuci kecuali kalau aku habis membuat kopi. aku masih ingat kamu memberiku mug ini di atas gerbong kereta waktu itu yang menggiring kita ke temaram lampu kota bandung. waktu itu aku bahkan lupa jika berulang tahun, kecuali saat alarm telepon selularmu mengingatkan bahwa sekarang hari ulang tahunku. kamu memberikannya dingin, katamu "biar kamu banyak minum, biar bibirmu ga pecah." setelah itu kamu larut lagi dalam bacaanmu. aku juga larut dalam musikku sendiri, dengan nada minor tentang cinta yang umum didengar pemuda belasan tahun. hampir tertidur sampai kamu merebut headsetku, "masih mendengar musik yang sama? kamu sudah 20 sekarang." kamu lalu memberiku sebuah novel humor favoritmu, "baca dari yang ringan, kalau udah suka dengan kata-kata baru nanti kubelikan lagi." hadiah keduamu pada ulang tahunku ke 20 ini. aku mulai membacanya, mengurutkan kata demi kata sampai aku benar-benar terlelap. kereta berhenti di gombong, aku terbangun dan mendapati kamu tak ada. ku tengok sedikit ke arah bordes. dari sana kamu melihat padaku, mendapati aku sudah bangun dari tidurku. lalu kamu tersenyum sambil mengangguk. aku tau betul arti gerakan tubuhmu itu. aku hanya perlu bersabar menunggumu selesai merokok. kondektur mendatangiku, meminta karcis. kamu membawanya dan aku tidak bisa mengatakannya pada kondektur ini. orang-orang mulai terambil perhatiannya padaku. panik. aku panik. mencoba memanggilmu yang masih merokok di batas gerbong. lalu tangan terulur dari belakang pundak kondektur, tanganmu, aku hafal betul jam tangan hadiah dariku. kamu lalu menyerahkan karcis milik kita dan duduk kembali di sampingku, mengusap kepalaku dan menyuruhku membaca lagi. sekarang barisan kata-kata dalam buku pertama yang kamu beri itu sudah menjelma sendiri menjadi kata-kataku dalam pesan-pesan singkatku. aku kembali menatap ke layar laptopku, dengan kopi panas dalam mug pemberianmu seperti waktu kamu memesan kopi di kereta dengan mug ini. dengan kata-kata yang singkat aku selalu menuliskan padamu, lewat surat elektronik, lewat layanan telepon selular. aku menulis padamu. menuliskan apa yang terjadi padaku pada hari-hari selama kamu pergi, yang hanya sempat kamu baca seminggu sekali. aku tetap suka, kamu selalu menambahkan senyum di setiap balasan suratku. membalasnya dengan kata-kata panjang agar aku tetap suka membaca. aku selalu suka semua balasan suratmu sewaktu kamu pergi. aku juga selalu membaca buku yang kamu kirim dari jauh. seperti pesanmu yang aku tak bisa lupa, "baca yg banyak,bisa bicara banyak. sekalipun mulutmu tak bersuara, kamu bisa menulis di kata-kata." tidak mungkin aku lupa pesanmu itu. sekalipun kita tidak pernah saling bersuara, kita tetap bertukar kata.

Senin, 05 September 2011

Cerpeli #3 rumah kami milik kami, tubuhku miliknya

Suamiku belum pulang. Yah, bekerja seperti hari-hari biasa. Lepas maghrib dia baru singgah di rumah kami. Aku mandi setelah memasak tadi sore. Sop untuk mas har, suamiku 13 tahun. Dia selalu ingin makanan berkuah selepas pulang kerja. Aku berdandan, untuk suamiku yang kucinta. Secantik mungkin. Setelah ini aku memasak air panas untuk menyeduh kopi mas har. Hari ini hari kamis, aku tidak begitu sibuk. Berbeda dengan hari sabtu, mas har akan mengajak kawan-kawannya dinner di rumah kami. Hari-hariku siang hari penuh hiburan, mas har selalu membelikanku perabotan terbaik untuk rumah kami, untukku. Siang hari aku selalu menonton film. Film-film yang terbaik yang dibuat oleh manusia di luar rumahku. Ya memang aku suka menonton film. Semua jenis, semua genre. Dalam negri maupun asing. Hobi yang asyik. hobi yang dipilihkan mas har untukku. untuk mengisi waktu senggangku menunggu ia pulang. selain menonton film, aku juga suka menunggu telpon dari kawan-kawan lamaku. kawan sebelum aku mulai memutuskan berkeluarga. kata mas har, cukup beberapa kawan saja yang aku kenal, yang menurutnya tidak membawaku ke kehidupan yang buruk. biasanya ada kawanku yang datang untuk ikut menonton film di rumah kami, ia membawa makanan-makanan kecil dan kami menghabiskan waktu. menjelang sore kawanku akan pulang dan aku mulai memasak untuk mas har, masakan berkuah, lalu mandi, lalu merebus air. seperti hari ini. aku tidak pernah keluar rumah, kata mas har tidak baik jika aku pergi tanpa pengawasannya. banyak orang jahat di luar sana. ting tong! itu mas har datang. aku membukakan pintu untuknya. ia mengecup pipiku seperti yang 13 tahun ia lakukan. "gimana kerjanya mas? lancar? anak buahmu membandel?" aku menanyakan kabarnya di kantor setelah 11 jam kami berpisah. "siapkan saja makananku, aku lapar." singkat jawabnya dan aku memburu menyiapkan makanannya, berlari kecil ke dapur. ia sudah duduk di meja makan waktu sop selesai kutaruh di tepat di tengah meja, kopi panas kusiapkan dan kutaruh di dekat tangan kirinya. mas har sudah mulai makan. aku menarik kursiku, duduk di sebelahnya dan ikut makan. tak lama ia lalu meneguk kopinya. menaruhnya di meja makan lagi dan mulai mandi. sementara itu aku membersihkan sisa aktivitas makan kami. ia masih berhanduk ketika memegang pundakku dari belakang ketika aku mencuci piring. mengendus rambutku dan menarikku ke kamar kami. pakaianku lepas satu per satu, ia juga. lalu kami bercinta dengan kemesraan seadanya yang nikmatnya sudah kurasakan 13 tahun lalu. hanya 2 gaya saja, missionaris lalu gaya anjing lalu missionaris lagi. aku sudah hafal urutannya di 3 bulan pertama pernikahan kami. keringat mas har menetes di tengah kami bercinta, seperti ia bekerja 2 kali dalam sehari ini. rampung kami bercinta, aku merebah istirahat. mas har sedikit terpejam. bernafas melambat dan memakai lagi pakaiannya. aku lalu memakai pakaianku saat mas har menuju ruang kerjanya merampungkan tugas lembur harian yang ia bawa ke rumah. satu-satunya kesempatanku berbohong dalam satu hari adalah saat ini. saat mas har mengira aku telah tertidur waktu ia melanjutkan kerjanya. aku tidak tertidur, aku bekerja seperti layaknya mas har setelah kami bercinta. menuliskan surat-surat untuk diriku sendiri. surat-surat yang isinya sama setiap hari. tentang kesibukanku yang semuanya dipilihkan mas har untukku. pilihan terbaik darinya. aku jenuh tapi tak punya pilihan, aku bosan tapi tak bisa mengeluh. kecuali pada surat-surat untukku sendiri. surat-surat yang kutulis untuk mengingatkanku bahwa aku dipaksa menyerah. dipaksa tidak punya arah. surat-surat yang menceritakan pada diriku sendiri, aku terikat tanggung jawab untuk menjadi istri yang baik bagi mas har. suamiku tercinta. barisan kata ini kusimpan di bawah bantalku, sampai nanti mas har menyusulku yang pura-pura tidur dan paginya kupindah di laci meja riasku. entah siapa yang nantinya akan pergi dahulu. jika lebih dulu mas har yang meninggal dunia, aku akan membakar surat-surat ini dan memulai membuka toko alat tulis, cita-cita lamaku. jika aku yang pergi dulu, biar surat-surat menjadi memoarku bahwa sejak "awal" telah berakhir, aku tidak pernah lagi bahagia.

Minggu, 04 September 2011

Cerpeli #2 diam dalam diam

Suamiku duduk diam, memegang setirnya dalam diam. Kakinya diam di pedal rem dan kopling. Diam. Dia diam dalam keinginannya untuk pipis. Aku tau betul. Kakinya mulai gelisah tapi diam. Keringatnya mulai turun tapi diam. Siapa yang tidak hafal suami yang menemanimu 30 tahun? Matamu mengantuk pun masih melihat suamimu. Tapi 4 tahun ini dia diam. "Kita berhenti untuk istirahat dulu?" tanyaku. Suamiku tetap diam, melihatku sebentar lalu menggeleng. "Tapi kamu harus membuang kencingmu." Dia mengangguk kemudian menggeleng. Artinya iya dia ingin kencing, tapi tidak mau berhenti untuk kencing. 4 tahun ini aku harus membaca bahasa diamnya. Tidak, bukan 4 tahun, tapi 4 kali dalam setahun. Kakinya masih diam, tak menginjak gas, pula kopling dan rem. Tangannya juga diam. Gestur ini juga 4 tahun terulang sama. Tiap ramadhan.

***

5 tahun yang lalu anak kami mentas dari perguruan tinggi, menyandang gelar sarjana. Sarjana ilmu pasti. Sama seperti suamiku. Pada hari kelulusannya suamiku tak pernah berhenti berbicara pada semua orang yang ia temui, anaknya lulus dengan gelar yang sama dengannya. Begitu girang sampai ia mengadakan pesta. Aku masih ingat ia mengundang semua temannya untuk merayakan kelulusan anak kami. Kebanggaan kami. Anak kami juga dengan mudah mendapat pekerjaan. Suamiku tidak pernah kehabisan senyum melihat anaknya pulang malam setelah pulang dari kerja. Aku selalu berdiri di sisi suamiku, menyeimbangkan diri dengan senyumnya. Tak ada yang lebih bahagia selain anakku mampu hidup sendiri. Sampai ia membawa gadis ke rumah, teman kerjanya. Aku mulai sadar, anakku sudah dewasa, hei dia membawa pasangannya. Kami makan malam berempat dengan tawa dan canda yang kami ulang sama setiap kali makan malam dan tetap lucu. Suamiku menceritakan tentang bagaimana ia menemukanku di perpustakaan kota, cerita yang ia ulang 25 tahun sejak anak kami lahir. Makan malam diulang setiap akhir pekan, dengan masakan yang sama dan tetap menjadi idola keluarga kami. Setelah 1 tahun bekerja, anak kami menikah dan sejak itu suamiku kehilangan tawanya. anak kami berpindah keyakinan. Mengikuti si istri. Sejak saat itu ia tak pernah lagi tersenyum, tak pernah lagi berbicara pada anak kami. Anak yang dulu ia ceritakan pada semua orang.

***

Ini keempat kalinya ramadhan bagi anak kami. Dengan cucu kami yang berumur 3 tahun. Anak kami tak bisa pulang, tak bisa mudik seperti kebanyakan anak lain. Ia sudah punya anak dan tidak bisa membawanya dalam perjalanan jauh. Terpaksa kami yang mengunjunginya ke rumahnya. Dan kami, aku dan suamiku selalu memulai perjalanan dalam diam. Mengakhiri dalam diam. 3 tahun yang lalu, 2 tahun yang lalu, dan tahun lalu ia juga diam. Terjebak dalam diam. Dan ia tetap diam sampai kami kembali ke rumah. Ini tahun keempat. Telepon genggam dari anakku berbunyi dalam tasku. Oh telepon darinya. Dan memang tak pernah ada telepon dari yang lain. "Mama sampai mana? Masih macet? Ini dedek udah ga sabar mau ketemu kakek neneknya. Papa mana ma?" kata anakku. "Telepon dari anakmu." kataku pada suami. Ia diam. Kudekatkan telepon genggam ke telinga suamiku, tangannya masih terpaku di setir mobil. "Halo kakek, ini dedek mau ngomong sama kakek." kata anakku. Lalu kudengar samar suara bayi berkata "tateeeek. Telepon genggam kuambil alih lagi, kudengar cucu kami memanggil, "eneeek." Anakku lantas berpesan agar kami berhenti untuk istirahat dahulu. Aku mengiyakan saran anakku, mengajak suamiku menepi untuk kencing. Sambil menepi aku bertanya padanya, "kenapa kamu selalu diam, ini sudah tahun keempat dan kamu diam selama perjalanan?" Dia tetap diam. Aku memang tak mengharapkan jawabannya. Lalu ia turun membuang kencingnya. Setelah itu ia naik lagi ke mobil kami, mataku mengawasinya. Ia diam lagi memegang setir mobil kami, juga diam di pedal gas dan kopling. "Awalnya aku marah besar, lalu melihatnya bahagia dengan keluarga yang ia bangun aku jadi marah pada diriku sendiri." kata suamiku. "Buah hatinya memanggilku kakek sementara aku tak pernah bicara padanya sejak pernikahannya." lanjutnya. "Mendengar cucu kita memanggilku kakek, aku menyadari ia tak pernah melupakan kita. ia hanya sudah memutuskan jalan hidupnya." Suamiku lalu diam lagi setelah kata-katanya. Melanjutkan perjalanan. Di tahun keempat ini kami lalu menepi sekali lagi. Ia keluar dari dalam mobil, tergesa. Masuk dengan tergesa pula membawa pakaian anak. "Untuk cucu kita, kira-kira pas kan ukurannya?" kali ini suamiku berkata dengan senyumnya. Aku juga tersenyum, "Tidak sabar kamu dipanggil kakek?" lalu kami melanjutkan perjalanan kami dalam diam.

Cerpeli #1 pergi untuk pulang

Saya bayangkan saat ini mata seorang ibu yg melihat jejeran pakaian anak di pertokoan, matanya menerawang anak tunggalnya yg sudah di surga. Ibu itu lalu membeli satu set baju, untuk anak usia 6 tahun. Untuk buah hatinya. Bajunya ia simpan, jika suatu saat anaknya kembali. Ia pulang ke rumahnya, menemui suaminya yang duduk juga menerawang menatap kamar anaknya yg tak pernah ditutup, takut anaknya ketakutan dalam gelap. si suami bertanya, "dapat bajunya? kau pastikan membeli yang terbaik kan untuk anak kita?" si ibu, "seperti aku memberi yang terbaik padamu." Mereka berdua bergandengan, memasuki kamar anak mereka. Menaruh satu set baju baru di kasur yang spreinya rajin diganti 3 hari sekali. Lilin dinyalakan,agar anaknya tidak ada dalam gelap, lalu mereka duduk di tepi kasur kecil hasil tabungan mereka. Mereka diam bergeming. Terdengar backsound detak detik jam dinding. Memutar ingatan mereka masing-masing tentang si anak yang lama pergi. Ingatan mereka berhenti di satu titik yang sama, pemakaman anak mereka yang tidak mereka hadiri. Lalu nafas terhela bersamaan. Saling tatap, ibu memulai berkata-kata,"masing ingat kenapa kita tidak datang ke pemakaman anak kita?" si ayah diam sebentar,"tak pernah lupa." Ayah melanjutkan dengan suara di ujung kumis lebatnya,"karena kita yakin ia sudah cukup besar tuk pulang sendiri, tak perlu kita antar sampai di gerbangnya." Dan tuk keempat kalinya dalam empat tahun ini si ibu berkata,"aku sayang kalian, suami dan anakku. kita tetap tunggu ia pulang tahun depan?" Si ayah menjawab cepat,"agar tak lupa." mereka tersenyum dan tidur bertiga di kasur di kamar anaknya. satu set baju di tengah mereka.

Selasa, 21 Juni 2011

Sepak Bola adalah Agama

setelah lama ga muncul, saya akhirnya blogging lagi.
kali ini isinya artikel kecil-kecilan saya mengenai sepakbola sebagai agama.
mari dinikmati.

mohon kritiknya ya :)

Selasa, 19 April 2011

#14

"Memang aneh sepakbola Indonesia, banyak orang-orang bilang ga ada uang ga menang"
 (lagu suporter di Indonesia)
Kental! Sepakbola di Indonesia kental sekali dengan bau uang. Apa-apa dinilai uang. Bukan tentang industrialisasi liga dan badan sepakbola lho. Saya bicara uang di sepakbola Indonesia ini kaitannya dengan kemenangan. Sudah tidak rahasia lagi, kemenangan partai kandang selalu jadi incaran wasit-wasit kotor dengan embel-embel diberi "uang saku" oleh tim tuan rumah jika memberikan gol yang berbau offside dan pinalti. Tidak sesederhana itu, masih ada lagi bau uang ketika tim tuan rumah memesan kartu baik kuning maupun merah di pertandingan lain -yang tentunya akan jadi musuhnya di paartai berikutnya-, atau pemesanan selisih gol -tim kami boleh kalah, tapi jangan biarkan kalah terlalu besar demi selisih gol-, atau lagi yang lebih parah memesan tempat di 8 besar. GILA!

Lalu kami suporter bisa apa? Demo sudah diturunkan di jalan-jalan dalam skala besar maupun kecil, pemerintah sudah turun tangan mencampuri federasi, bahkan badan tertinggi sepakbola dunia sudah mengintervensi. Tapi apa, prakteknya masih berjalan. Suporter sudah hilang akal, yang ada tinggal umpatan dan protes. Di lapangan kami hanya bisa mendukung tim sambil mengumpat pada tim lawan dan memprotes keputusan wasit lewat nyanyian kami di tribun. Suporter sudah lelah, tapi tidak berhenti.
kami hanya bisa membelakangi lapangan
sebagai bentuk protes permainan yang tidak lagi adil

Minggu, 27 Maret 2011

#13

"Masih berapa uangmu? Ini tambahan buat makan." (Andri Jangkung, dalam perjalanan pulang tur tandang)

Sedikit sekali suporter yang membawa uang lebih ketika tur ke kandang lawan. Lumrah sekali karena sebagian besar suporter adalah buruh yang bayarannya tidak seberapa besar, tapi dipaksa oleh keadaan untuk menghadiri partai tandang dan kandang yang jadwalnya sangatlah mepet. Otomatis sebagian besar suporter hanya membawa uang pas, itu saja kadang hanya pas untuk berangkat dan tiket masuk. Sisanya? Serahkan pada nasib baik.

Jadwal tur yang padat memaksa suporter harus membagi-bagi uangnya dalam plot-plot yang jelas, agar bisa sebanyak mungkin menghadiri partai tandang timnya. Sebenarnya tidak ada paksaan untuk ini, tapi yah bagaimana lagi, kalau sudah cinta ya susah untuk tidak hadir di semua pertandingan. Hutang sudah jadi solusi pas untuk para suporter, tapi ada beberapa yang memilih bermodalkan nekat, asalkan bisa sampai tujuan, pulang pasti bisa dipikirkan.

Satu hari, dalam perjalanan pulang tur, sisa uang tinggal Rp 5.000,00. Dengan catatan belum makan sedari berangkat, alias sedari malam. Padahal posisinya adalah dalam perjalanan pulang dari pertandingan tandang yang artinya lagi adalah badan sudah lelah dan butuh tenaga. Untuk makan di pinggir jalan, susah sekali mendapatkan warung makan yang murah. Tapi beruntunglah kamu memiliki teman sekelompokmu, yang sama-sama mengerti menjadi suporter, merasakan kesusahan yang sama. Jika nasib baik berpihak padamu, makan dalam perjalanan pulang kamu akan dibayari atau paling tidak akan dibayarkan kekurangan uangmu. Ya begitulah sepakbola, seperti komunikasi tanpa bahasa, tiap orang yang terlibat di dalamnya mampu memiliki rasa yang sama. Kamu tidak usah bilang kamu lapar, kawan sekelompok suportermu sudah tau dan tidak akan melupakanmu.

Kelompok suporter bagi saya dapat berarti pula keluarga yang mampu saya pilih. Yang saling mengerti, paham satu sama lain dan tidak akan melupakanmu, berdiri di sebelahmu dalam pertempuran untuk saling melindungi.