Minggu, 04 September 2011

Cerpeli #2 diam dalam diam

Suamiku duduk diam, memegang setirnya dalam diam. Kakinya diam di pedal rem dan kopling. Diam. Dia diam dalam keinginannya untuk pipis. Aku tau betul. Kakinya mulai gelisah tapi diam. Keringatnya mulai turun tapi diam. Siapa yang tidak hafal suami yang menemanimu 30 tahun? Matamu mengantuk pun masih melihat suamimu. Tapi 4 tahun ini dia diam. "Kita berhenti untuk istirahat dulu?" tanyaku. Suamiku tetap diam, melihatku sebentar lalu menggeleng. "Tapi kamu harus membuang kencingmu." Dia mengangguk kemudian menggeleng. Artinya iya dia ingin kencing, tapi tidak mau berhenti untuk kencing. 4 tahun ini aku harus membaca bahasa diamnya. Tidak, bukan 4 tahun, tapi 4 kali dalam setahun. Kakinya masih diam, tak menginjak gas, pula kopling dan rem. Tangannya juga diam. Gestur ini juga 4 tahun terulang sama. Tiap ramadhan.

***

5 tahun yang lalu anak kami mentas dari perguruan tinggi, menyandang gelar sarjana. Sarjana ilmu pasti. Sama seperti suamiku. Pada hari kelulusannya suamiku tak pernah berhenti berbicara pada semua orang yang ia temui, anaknya lulus dengan gelar yang sama dengannya. Begitu girang sampai ia mengadakan pesta. Aku masih ingat ia mengundang semua temannya untuk merayakan kelulusan anak kami. Kebanggaan kami. Anak kami juga dengan mudah mendapat pekerjaan. Suamiku tidak pernah kehabisan senyum melihat anaknya pulang malam setelah pulang dari kerja. Aku selalu berdiri di sisi suamiku, menyeimbangkan diri dengan senyumnya. Tak ada yang lebih bahagia selain anakku mampu hidup sendiri. Sampai ia membawa gadis ke rumah, teman kerjanya. Aku mulai sadar, anakku sudah dewasa, hei dia membawa pasangannya. Kami makan malam berempat dengan tawa dan canda yang kami ulang sama setiap kali makan malam dan tetap lucu. Suamiku menceritakan tentang bagaimana ia menemukanku di perpustakaan kota, cerita yang ia ulang 25 tahun sejak anak kami lahir. Makan malam diulang setiap akhir pekan, dengan masakan yang sama dan tetap menjadi idola keluarga kami. Setelah 1 tahun bekerja, anak kami menikah dan sejak itu suamiku kehilangan tawanya. anak kami berpindah keyakinan. Mengikuti si istri. Sejak saat itu ia tak pernah lagi tersenyum, tak pernah lagi berbicara pada anak kami. Anak yang dulu ia ceritakan pada semua orang.

***

Ini keempat kalinya ramadhan bagi anak kami. Dengan cucu kami yang berumur 3 tahun. Anak kami tak bisa pulang, tak bisa mudik seperti kebanyakan anak lain. Ia sudah punya anak dan tidak bisa membawanya dalam perjalanan jauh. Terpaksa kami yang mengunjunginya ke rumahnya. Dan kami, aku dan suamiku selalu memulai perjalanan dalam diam. Mengakhiri dalam diam. 3 tahun yang lalu, 2 tahun yang lalu, dan tahun lalu ia juga diam. Terjebak dalam diam. Dan ia tetap diam sampai kami kembali ke rumah. Ini tahun keempat. Telepon genggam dari anakku berbunyi dalam tasku. Oh telepon darinya. Dan memang tak pernah ada telepon dari yang lain. "Mama sampai mana? Masih macet? Ini dedek udah ga sabar mau ketemu kakek neneknya. Papa mana ma?" kata anakku. "Telepon dari anakmu." kataku pada suami. Ia diam. Kudekatkan telepon genggam ke telinga suamiku, tangannya masih terpaku di setir mobil. "Halo kakek, ini dedek mau ngomong sama kakek." kata anakku. Lalu kudengar samar suara bayi berkata "tateeeek. Telepon genggam kuambil alih lagi, kudengar cucu kami memanggil, "eneeek." Anakku lantas berpesan agar kami berhenti untuk istirahat dahulu. Aku mengiyakan saran anakku, mengajak suamiku menepi untuk kencing. Sambil menepi aku bertanya padanya, "kenapa kamu selalu diam, ini sudah tahun keempat dan kamu diam selama perjalanan?" Dia tetap diam. Aku memang tak mengharapkan jawabannya. Lalu ia turun membuang kencingnya. Setelah itu ia naik lagi ke mobil kami, mataku mengawasinya. Ia diam lagi memegang setir mobil kami, juga diam di pedal gas dan kopling. "Awalnya aku marah besar, lalu melihatnya bahagia dengan keluarga yang ia bangun aku jadi marah pada diriku sendiri." kata suamiku. "Buah hatinya memanggilku kakek sementara aku tak pernah bicara padanya sejak pernikahannya." lanjutnya. "Mendengar cucu kita memanggilku kakek, aku menyadari ia tak pernah melupakan kita. ia hanya sudah memutuskan jalan hidupnya." Suamiku lalu diam lagi setelah kata-katanya. Melanjutkan perjalanan. Di tahun keempat ini kami lalu menepi sekali lagi. Ia keluar dari dalam mobil, tergesa. Masuk dengan tergesa pula membawa pakaian anak. "Untuk cucu kita, kira-kira pas kan ukurannya?" kali ini suamiku berkata dengan senyumnya. Aku juga tersenyum, "Tidak sabar kamu dipanggil kakek?" lalu kami melanjutkan perjalanan kami dalam diam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar