Rabu, 07 September 2011

Cerpeli #4 pesan-pesan dalam kata

jari-jariku masih sibuk memijat tuts-tuts karakter di panel laptopku. sebentar-sebentar kupencet spasi untuk memisahkan satu kata dengan yang lainnya. aku tidak sedang memulai sebuah cerita. hanya sedang mencoba menggambarkan apa yang sedang kulihat dan kurasakan di atas alas tidurku. pada spasi terakhir aku berhenti. setelah kata "kamu". sulit menuliskannya, aku tak melihatmu sekarang ini, hanya merasa. dan akhirnya aku memutuskan berhenti menulis kali ini. menuju ke lemari pendingin, menuang air ke mug yang bergambar kita. hadiah darimu waktu aku merampungkan usiaku sebagai pemuda belasan tahun. tersenyum sebentar, mug ini hampir tidak pernah kucuci kecuali kalau aku habis membuat kopi. aku masih ingat kamu memberiku mug ini di atas gerbong kereta waktu itu yang menggiring kita ke temaram lampu kota bandung. waktu itu aku bahkan lupa jika berulang tahun, kecuali saat alarm telepon selularmu mengingatkan bahwa sekarang hari ulang tahunku. kamu memberikannya dingin, katamu "biar kamu banyak minum, biar bibirmu ga pecah." setelah itu kamu larut lagi dalam bacaanmu. aku juga larut dalam musikku sendiri, dengan nada minor tentang cinta yang umum didengar pemuda belasan tahun. hampir tertidur sampai kamu merebut headsetku, "masih mendengar musik yang sama? kamu sudah 20 sekarang." kamu lalu memberiku sebuah novel humor favoritmu, "baca dari yang ringan, kalau udah suka dengan kata-kata baru nanti kubelikan lagi." hadiah keduamu pada ulang tahunku ke 20 ini. aku mulai membacanya, mengurutkan kata demi kata sampai aku benar-benar terlelap. kereta berhenti di gombong, aku terbangun dan mendapati kamu tak ada. ku tengok sedikit ke arah bordes. dari sana kamu melihat padaku, mendapati aku sudah bangun dari tidurku. lalu kamu tersenyum sambil mengangguk. aku tau betul arti gerakan tubuhmu itu. aku hanya perlu bersabar menunggumu selesai merokok. kondektur mendatangiku, meminta karcis. kamu membawanya dan aku tidak bisa mengatakannya pada kondektur ini. orang-orang mulai terambil perhatiannya padaku. panik. aku panik. mencoba memanggilmu yang masih merokok di batas gerbong. lalu tangan terulur dari belakang pundak kondektur, tanganmu, aku hafal betul jam tangan hadiah dariku. kamu lalu menyerahkan karcis milik kita dan duduk kembali di sampingku, mengusap kepalaku dan menyuruhku membaca lagi. sekarang barisan kata-kata dalam buku pertama yang kamu beri itu sudah menjelma sendiri menjadi kata-kataku dalam pesan-pesan singkatku. aku kembali menatap ke layar laptopku, dengan kopi panas dalam mug pemberianmu seperti waktu kamu memesan kopi di kereta dengan mug ini. dengan kata-kata yang singkat aku selalu menuliskan padamu, lewat surat elektronik, lewat layanan telepon selular. aku menulis padamu. menuliskan apa yang terjadi padaku pada hari-hari selama kamu pergi, yang hanya sempat kamu baca seminggu sekali. aku tetap suka, kamu selalu menambahkan senyum di setiap balasan suratku. membalasnya dengan kata-kata panjang agar aku tetap suka membaca. aku selalu suka semua balasan suratmu sewaktu kamu pergi. aku juga selalu membaca buku yang kamu kirim dari jauh. seperti pesanmu yang aku tak bisa lupa, "baca yg banyak,bisa bicara banyak. sekalipun mulutmu tak bersuara, kamu bisa menulis di kata-kata." tidak mungkin aku lupa pesanmu itu. sekalipun kita tidak pernah saling bersuara, kita tetap bertukar kata.

Senin, 05 September 2011

Cerpeli #3 rumah kami milik kami, tubuhku miliknya

Suamiku belum pulang. Yah, bekerja seperti hari-hari biasa. Lepas maghrib dia baru singgah di rumah kami. Aku mandi setelah memasak tadi sore. Sop untuk mas har, suamiku 13 tahun. Dia selalu ingin makanan berkuah selepas pulang kerja. Aku berdandan, untuk suamiku yang kucinta. Secantik mungkin. Setelah ini aku memasak air panas untuk menyeduh kopi mas har. Hari ini hari kamis, aku tidak begitu sibuk. Berbeda dengan hari sabtu, mas har akan mengajak kawan-kawannya dinner di rumah kami. Hari-hariku siang hari penuh hiburan, mas har selalu membelikanku perabotan terbaik untuk rumah kami, untukku. Siang hari aku selalu menonton film. Film-film yang terbaik yang dibuat oleh manusia di luar rumahku. Ya memang aku suka menonton film. Semua jenis, semua genre. Dalam negri maupun asing. Hobi yang asyik. hobi yang dipilihkan mas har untukku. untuk mengisi waktu senggangku menunggu ia pulang. selain menonton film, aku juga suka menunggu telpon dari kawan-kawan lamaku. kawan sebelum aku mulai memutuskan berkeluarga. kata mas har, cukup beberapa kawan saja yang aku kenal, yang menurutnya tidak membawaku ke kehidupan yang buruk. biasanya ada kawanku yang datang untuk ikut menonton film di rumah kami, ia membawa makanan-makanan kecil dan kami menghabiskan waktu. menjelang sore kawanku akan pulang dan aku mulai memasak untuk mas har, masakan berkuah, lalu mandi, lalu merebus air. seperti hari ini. aku tidak pernah keluar rumah, kata mas har tidak baik jika aku pergi tanpa pengawasannya. banyak orang jahat di luar sana. ting tong! itu mas har datang. aku membukakan pintu untuknya. ia mengecup pipiku seperti yang 13 tahun ia lakukan. "gimana kerjanya mas? lancar? anak buahmu membandel?" aku menanyakan kabarnya di kantor setelah 11 jam kami berpisah. "siapkan saja makananku, aku lapar." singkat jawabnya dan aku memburu menyiapkan makanannya, berlari kecil ke dapur. ia sudah duduk di meja makan waktu sop selesai kutaruh di tepat di tengah meja, kopi panas kusiapkan dan kutaruh di dekat tangan kirinya. mas har sudah mulai makan. aku menarik kursiku, duduk di sebelahnya dan ikut makan. tak lama ia lalu meneguk kopinya. menaruhnya di meja makan lagi dan mulai mandi. sementara itu aku membersihkan sisa aktivitas makan kami. ia masih berhanduk ketika memegang pundakku dari belakang ketika aku mencuci piring. mengendus rambutku dan menarikku ke kamar kami. pakaianku lepas satu per satu, ia juga. lalu kami bercinta dengan kemesraan seadanya yang nikmatnya sudah kurasakan 13 tahun lalu. hanya 2 gaya saja, missionaris lalu gaya anjing lalu missionaris lagi. aku sudah hafal urutannya di 3 bulan pertama pernikahan kami. keringat mas har menetes di tengah kami bercinta, seperti ia bekerja 2 kali dalam sehari ini. rampung kami bercinta, aku merebah istirahat. mas har sedikit terpejam. bernafas melambat dan memakai lagi pakaiannya. aku lalu memakai pakaianku saat mas har menuju ruang kerjanya merampungkan tugas lembur harian yang ia bawa ke rumah. satu-satunya kesempatanku berbohong dalam satu hari adalah saat ini. saat mas har mengira aku telah tertidur waktu ia melanjutkan kerjanya. aku tidak tertidur, aku bekerja seperti layaknya mas har setelah kami bercinta. menuliskan surat-surat untuk diriku sendiri. surat-surat yang isinya sama setiap hari. tentang kesibukanku yang semuanya dipilihkan mas har untukku. pilihan terbaik darinya. aku jenuh tapi tak punya pilihan, aku bosan tapi tak bisa mengeluh. kecuali pada surat-surat untukku sendiri. surat-surat yang kutulis untuk mengingatkanku bahwa aku dipaksa menyerah. dipaksa tidak punya arah. surat-surat yang menceritakan pada diriku sendiri, aku terikat tanggung jawab untuk menjadi istri yang baik bagi mas har. suamiku tercinta. barisan kata ini kusimpan di bawah bantalku, sampai nanti mas har menyusulku yang pura-pura tidur dan paginya kupindah di laci meja riasku. entah siapa yang nantinya akan pergi dahulu. jika lebih dulu mas har yang meninggal dunia, aku akan membakar surat-surat ini dan memulai membuka toko alat tulis, cita-cita lamaku. jika aku yang pergi dulu, biar surat-surat menjadi memoarku bahwa sejak "awal" telah berakhir, aku tidak pernah lagi bahagia.

Minggu, 04 September 2011

Cerpeli #2 diam dalam diam

Suamiku duduk diam, memegang setirnya dalam diam. Kakinya diam di pedal rem dan kopling. Diam. Dia diam dalam keinginannya untuk pipis. Aku tau betul. Kakinya mulai gelisah tapi diam. Keringatnya mulai turun tapi diam. Siapa yang tidak hafal suami yang menemanimu 30 tahun? Matamu mengantuk pun masih melihat suamimu. Tapi 4 tahun ini dia diam. "Kita berhenti untuk istirahat dulu?" tanyaku. Suamiku tetap diam, melihatku sebentar lalu menggeleng. "Tapi kamu harus membuang kencingmu." Dia mengangguk kemudian menggeleng. Artinya iya dia ingin kencing, tapi tidak mau berhenti untuk kencing. 4 tahun ini aku harus membaca bahasa diamnya. Tidak, bukan 4 tahun, tapi 4 kali dalam setahun. Kakinya masih diam, tak menginjak gas, pula kopling dan rem. Tangannya juga diam. Gestur ini juga 4 tahun terulang sama. Tiap ramadhan.

***

5 tahun yang lalu anak kami mentas dari perguruan tinggi, menyandang gelar sarjana. Sarjana ilmu pasti. Sama seperti suamiku. Pada hari kelulusannya suamiku tak pernah berhenti berbicara pada semua orang yang ia temui, anaknya lulus dengan gelar yang sama dengannya. Begitu girang sampai ia mengadakan pesta. Aku masih ingat ia mengundang semua temannya untuk merayakan kelulusan anak kami. Kebanggaan kami. Anak kami juga dengan mudah mendapat pekerjaan. Suamiku tidak pernah kehabisan senyum melihat anaknya pulang malam setelah pulang dari kerja. Aku selalu berdiri di sisi suamiku, menyeimbangkan diri dengan senyumnya. Tak ada yang lebih bahagia selain anakku mampu hidup sendiri. Sampai ia membawa gadis ke rumah, teman kerjanya. Aku mulai sadar, anakku sudah dewasa, hei dia membawa pasangannya. Kami makan malam berempat dengan tawa dan canda yang kami ulang sama setiap kali makan malam dan tetap lucu. Suamiku menceritakan tentang bagaimana ia menemukanku di perpustakaan kota, cerita yang ia ulang 25 tahun sejak anak kami lahir. Makan malam diulang setiap akhir pekan, dengan masakan yang sama dan tetap menjadi idola keluarga kami. Setelah 1 tahun bekerja, anak kami menikah dan sejak itu suamiku kehilangan tawanya. anak kami berpindah keyakinan. Mengikuti si istri. Sejak saat itu ia tak pernah lagi tersenyum, tak pernah lagi berbicara pada anak kami. Anak yang dulu ia ceritakan pada semua orang.

***

Ini keempat kalinya ramadhan bagi anak kami. Dengan cucu kami yang berumur 3 tahun. Anak kami tak bisa pulang, tak bisa mudik seperti kebanyakan anak lain. Ia sudah punya anak dan tidak bisa membawanya dalam perjalanan jauh. Terpaksa kami yang mengunjunginya ke rumahnya. Dan kami, aku dan suamiku selalu memulai perjalanan dalam diam. Mengakhiri dalam diam. 3 tahun yang lalu, 2 tahun yang lalu, dan tahun lalu ia juga diam. Terjebak dalam diam. Dan ia tetap diam sampai kami kembali ke rumah. Ini tahun keempat. Telepon genggam dari anakku berbunyi dalam tasku. Oh telepon darinya. Dan memang tak pernah ada telepon dari yang lain. "Mama sampai mana? Masih macet? Ini dedek udah ga sabar mau ketemu kakek neneknya. Papa mana ma?" kata anakku. "Telepon dari anakmu." kataku pada suami. Ia diam. Kudekatkan telepon genggam ke telinga suamiku, tangannya masih terpaku di setir mobil. "Halo kakek, ini dedek mau ngomong sama kakek." kata anakku. Lalu kudengar samar suara bayi berkata "tateeeek. Telepon genggam kuambil alih lagi, kudengar cucu kami memanggil, "eneeek." Anakku lantas berpesan agar kami berhenti untuk istirahat dahulu. Aku mengiyakan saran anakku, mengajak suamiku menepi untuk kencing. Sambil menepi aku bertanya padanya, "kenapa kamu selalu diam, ini sudah tahun keempat dan kamu diam selama perjalanan?" Dia tetap diam. Aku memang tak mengharapkan jawabannya. Lalu ia turun membuang kencingnya. Setelah itu ia naik lagi ke mobil kami, mataku mengawasinya. Ia diam lagi memegang setir mobil kami, juga diam di pedal gas dan kopling. "Awalnya aku marah besar, lalu melihatnya bahagia dengan keluarga yang ia bangun aku jadi marah pada diriku sendiri." kata suamiku. "Buah hatinya memanggilku kakek sementara aku tak pernah bicara padanya sejak pernikahannya." lanjutnya. "Mendengar cucu kita memanggilku kakek, aku menyadari ia tak pernah melupakan kita. ia hanya sudah memutuskan jalan hidupnya." Suamiku lalu diam lagi setelah kata-katanya. Melanjutkan perjalanan. Di tahun keempat ini kami lalu menepi sekali lagi. Ia keluar dari dalam mobil, tergesa. Masuk dengan tergesa pula membawa pakaian anak. "Untuk cucu kita, kira-kira pas kan ukurannya?" kali ini suamiku berkata dengan senyumnya. Aku juga tersenyum, "Tidak sabar kamu dipanggil kakek?" lalu kami melanjutkan perjalanan kami dalam diam.

Cerpeli #1 pergi untuk pulang

Saya bayangkan saat ini mata seorang ibu yg melihat jejeran pakaian anak di pertokoan, matanya menerawang anak tunggalnya yg sudah di surga. Ibu itu lalu membeli satu set baju, untuk anak usia 6 tahun. Untuk buah hatinya. Bajunya ia simpan, jika suatu saat anaknya kembali. Ia pulang ke rumahnya, menemui suaminya yang duduk juga menerawang menatap kamar anaknya yg tak pernah ditutup, takut anaknya ketakutan dalam gelap. si suami bertanya, "dapat bajunya? kau pastikan membeli yang terbaik kan untuk anak kita?" si ibu, "seperti aku memberi yang terbaik padamu." Mereka berdua bergandengan, memasuki kamar anak mereka. Menaruh satu set baju baru di kasur yang spreinya rajin diganti 3 hari sekali. Lilin dinyalakan,agar anaknya tidak ada dalam gelap, lalu mereka duduk di tepi kasur kecil hasil tabungan mereka. Mereka diam bergeming. Terdengar backsound detak detik jam dinding. Memutar ingatan mereka masing-masing tentang si anak yang lama pergi. Ingatan mereka berhenti di satu titik yang sama, pemakaman anak mereka yang tidak mereka hadiri. Lalu nafas terhela bersamaan. Saling tatap, ibu memulai berkata-kata,"masing ingat kenapa kita tidak datang ke pemakaman anak kita?" si ayah diam sebentar,"tak pernah lupa." Ayah melanjutkan dengan suara di ujung kumis lebatnya,"karena kita yakin ia sudah cukup besar tuk pulang sendiri, tak perlu kita antar sampai di gerbangnya." Dan tuk keempat kalinya dalam empat tahun ini si ibu berkata,"aku sayang kalian, suami dan anakku. kita tetap tunggu ia pulang tahun depan?" Si ayah menjawab cepat,"agar tak lupa." mereka tersenyum dan tidur bertiga di kasur di kamar anaknya. satu set baju di tengah mereka.

Selasa, 21 Juni 2011

Sepak Bola adalah Agama

setelah lama ga muncul, saya akhirnya blogging lagi.
kali ini isinya artikel kecil-kecilan saya mengenai sepakbola sebagai agama.
mari dinikmati.

mohon kritiknya ya :)

Selasa, 19 April 2011

#14

"Memang aneh sepakbola Indonesia, banyak orang-orang bilang ga ada uang ga menang"
 (lagu suporter di Indonesia)
Kental! Sepakbola di Indonesia kental sekali dengan bau uang. Apa-apa dinilai uang. Bukan tentang industrialisasi liga dan badan sepakbola lho. Saya bicara uang di sepakbola Indonesia ini kaitannya dengan kemenangan. Sudah tidak rahasia lagi, kemenangan partai kandang selalu jadi incaran wasit-wasit kotor dengan embel-embel diberi "uang saku" oleh tim tuan rumah jika memberikan gol yang berbau offside dan pinalti. Tidak sesederhana itu, masih ada lagi bau uang ketika tim tuan rumah memesan kartu baik kuning maupun merah di pertandingan lain -yang tentunya akan jadi musuhnya di paartai berikutnya-, atau pemesanan selisih gol -tim kami boleh kalah, tapi jangan biarkan kalah terlalu besar demi selisih gol-, atau lagi yang lebih parah memesan tempat di 8 besar. GILA!

Lalu kami suporter bisa apa? Demo sudah diturunkan di jalan-jalan dalam skala besar maupun kecil, pemerintah sudah turun tangan mencampuri federasi, bahkan badan tertinggi sepakbola dunia sudah mengintervensi. Tapi apa, prakteknya masih berjalan. Suporter sudah hilang akal, yang ada tinggal umpatan dan protes. Di lapangan kami hanya bisa mendukung tim sambil mengumpat pada tim lawan dan memprotes keputusan wasit lewat nyanyian kami di tribun. Suporter sudah lelah, tapi tidak berhenti.
kami hanya bisa membelakangi lapangan
sebagai bentuk protes permainan yang tidak lagi adil

Minggu, 27 Maret 2011

#13

"Masih berapa uangmu? Ini tambahan buat makan." (Andri Jangkung, dalam perjalanan pulang tur tandang)

Sedikit sekali suporter yang membawa uang lebih ketika tur ke kandang lawan. Lumrah sekali karena sebagian besar suporter adalah buruh yang bayarannya tidak seberapa besar, tapi dipaksa oleh keadaan untuk menghadiri partai tandang dan kandang yang jadwalnya sangatlah mepet. Otomatis sebagian besar suporter hanya membawa uang pas, itu saja kadang hanya pas untuk berangkat dan tiket masuk. Sisanya? Serahkan pada nasib baik.

Jadwal tur yang padat memaksa suporter harus membagi-bagi uangnya dalam plot-plot yang jelas, agar bisa sebanyak mungkin menghadiri partai tandang timnya. Sebenarnya tidak ada paksaan untuk ini, tapi yah bagaimana lagi, kalau sudah cinta ya susah untuk tidak hadir di semua pertandingan. Hutang sudah jadi solusi pas untuk para suporter, tapi ada beberapa yang memilih bermodalkan nekat, asalkan bisa sampai tujuan, pulang pasti bisa dipikirkan.

Satu hari, dalam perjalanan pulang tur, sisa uang tinggal Rp 5.000,00. Dengan catatan belum makan sedari berangkat, alias sedari malam. Padahal posisinya adalah dalam perjalanan pulang dari pertandingan tandang yang artinya lagi adalah badan sudah lelah dan butuh tenaga. Untuk makan di pinggir jalan, susah sekali mendapatkan warung makan yang murah. Tapi beruntunglah kamu memiliki teman sekelompokmu, yang sama-sama mengerti menjadi suporter, merasakan kesusahan yang sama. Jika nasib baik berpihak padamu, makan dalam perjalanan pulang kamu akan dibayari atau paling tidak akan dibayarkan kekurangan uangmu. Ya begitulah sepakbola, seperti komunikasi tanpa bahasa, tiap orang yang terlibat di dalamnya mampu memiliki rasa yang sama. Kamu tidak usah bilang kamu lapar, kawan sekelompok suportermu sudah tau dan tidak akan melupakanmu.

Kelompok suporter bagi saya dapat berarti pula keluarga yang mampu saya pilih. Yang saling mengerti, paham satu sama lain dan tidak akan melupakanmu, berdiri di sebelahmu dalam pertempuran untuk saling melindungi.

#12

A: "Jadi ikut tur ga kamu nanti malem?"
B: "Kepastiannya nanti malem ya, kalo gaji jadi turun, aku ikut berangkat."
(nukilan pesan singkat dari seorang kawan)

Hidup menjadi suporter sebenarnya adalah pekerjaan paling boros di dunia selama sejarah kesibukan manusia. Untuk mengikuti partai kandang saja, harus merogoh uang yang cukup banyak, bukan dalam skala uang jajan harian, melainkan harus menabung terlebih dahulu. Maka dari itu perlu bagi suporter untuk memiliki catatan jadwal pertandingan. Ini baru partai kandang, belum lagi partai tandang yang biayanya berlipat-lipat banyaknya ketimbang partai kandang. Sudah membayar tiket masuk pun kamu bisa-bisa tidak melihat pertandingannya karena asik menyanyi dukungan untuk tim.

Besarnya estimasi biaya (kandang maupun tandang) sebenarnya dapat memacu suporter untuk bekerja giat, ya walaupun hasil keringat akan segera habis untuk membeli tiket dan biaya perjalanan. Menjadi suporter adalah pilihan yang salah bagi mereka yang ingin kaya. Dalam opini saya, sepakbola dan tim adalah kebanggaan yang tak terbayarkan berapapun nilainya. Maka tidak heran jika suporter banyak berasal dari kalangan kelas pekerja. Bukan pekerja yang merangkap menjadi suporter, tapi suporter yang terpaksa merangkap menjadi pekerja.

Pernah muncul pertanyaan, "oh ternyata kamu kerja juga toh? saya kira kerjaannya cuma nonton bola." WTF! Pertama, saya tidak nonton bola, saya datang mendukung tim saya. Kedua, kamu kira saya dibayar untuk datang ke stadion, atau masuk stadion adalah gratis, atau kamu kira kebanggaan adalah lahan mencari uang? Ya, sepakbola dan tim yang kamu banggakan tidak untuk mengais uang, memutuskan hidup untuk menjadi suporter sama dengan memutuskan untuk hidup merugi. Jadi adalah haram untuk mencari uang lewat tim yang kamu bela. Kecuali kamu adalah pemain, maka kami akan rela membayar demi menyanyikan lagu-lagu dukungan padamu di stadion.

Menjadi suporter adalah perkara rela dan dengan ikhlas membuang uangmu, demi tim, demi tiket, demi kebanggaan yang kamu dengungkan tiap waktu. Bukan untuk mencemplungkan diri ke dalam lahan basah yang bisa kamu keruk uangnya. Dan kalau kamu melakukan itu dan aku tau, kamu kuharamkan! :D

(sedikit random setelah lama tidak posting :D)

Sabtu, 05 Februari 2011

#11

"hahaha, sepatumu KW berapa mas?" (ejekan yang selalu ada dari kami untuk tim musuh setiap sebelum pertandingan)

Kami para suporter tidak pernah bisa melewatkan matchday. H-1 matchday selalu dipenuhi dengan jantung berdebar dan insomnia. Tidak hanya satu-dua orang, tapi sebagian besar suporter sebuah tim pasti akan kesulitan tidur menjelang matchday. Bagaimana tidak, kebanggaannya akan berlaga. Dan perasaan tidak ingin melewatkan pertandingan ini memupuk detak jantung.

Insomnia ini masih dilanjutkan dengan perasaan tidak sabar untuk datang sesegera mungkin di stadion. 3 jam sebelum pertandingan dimulai kami sudah hadir, menyiapkan banner dan bendera kami sebagai alat bantu kami mendukung tim. Lengkap dengan perkusinya. Semangat ini yang terus kami pupuk, kami tidak ingin meremehkan matchday dengan datang bermalas-malasan. Kami ingin menghargai pahlawan kami yang bertarung dengan sekuat tenaga di lapangan hijau. Kami ingin ada sebelum mereka memasuki area pertarungan, sambil memutar botol alkohol sebagai asupan energi dalam menyanyi nanti.

Kedatangan awal kami tidak hanya mempersiapkan alat-alat. Ada tujuan lain, yaitu teror terhadap tim lawan. Ada kebiasaan untuk tim lawan agar lebih dulu pemanasan di lapangan sementara tim kami masih melakukan briefing di ruang ganti. Pada waktu inilah kami melakukan ejekan-ejekan pada tim lawan. Dibilang rasis kami tidak peduli. Kami rasis pada tim yang melawan tim kami saat itu. Semua tim, tidak terkecuali. Dunia akan mengecap kami suporter yang buruk, tapi kami tidak peduli. Apapun demi kemenangan tim.

Ejekan di awal pertandingan tidak akan berlangsung lama, hanya sebelum pemain kami memasuki lapangan untuk pemanasan. Begitu pemain kami masuk, ejekan pada tim lawan langsung berubah menjadi nanyian dukungan untuk tim yang kami banggakan. Kami sudah tidak peduli sama sekali dengan lawan kami. Yang ada di pikiran kami hanyalah dukungan untuk tim dan harapan akan kemenangan.

dengan api, kita buat neraka bagi tim lawan.
dengan api, kita buat sambutan bagi tim yang kita banggakan

Kamis, 27 Januari 2011

#10

Pemain lawan : "pak, penalty pak.."
Wasit: "iya-iya..tunggu.."
(cuplikan dialog pertandingan tandang)

Seorang pemain tim datang ke markas kami, markas suporter usai pertandingan tandang. Ini adalah lawatannya yang pertama. Apresiasi ini kami dapat karena apresiasi kami juga terhadap striker ini, karena ketajaman dan kedekatannya pada suporter. Kami memujanya bak dewa, kami nyanyikan lagu pujian di lapangan. Kedatangan ini adalah bentuk penghargaan terhadap kami sendiri selain dari kemenangan di pertandingan.

Cerita bergulir seperti obrolan layaknya teman, terasa dekat. Sampai dia membeberkan obrolan antara pemain tim lawan dengan wasit saat pertandingan tandang kemarin. Salah satu dewa yang kami puja ini mendengar sendiri pemain lawan berbisik pada wasit. Posisi di kandang lawan, skor 1-1. Sudah sangat baik untuk pertandingan tandang. Pemain lawan menekan terus di kotak penalty, menginginkan tendangan 12 pas. Akhirnay tidak terjadi yang kami takutkan itu, namun gol tercipta dengan jelas-jelas posisi offside pada waktu injury time sudah melebihi batas.

Biasa memang. Sungguh biasa. Kami tidak kecewa. Kami tetap bangga pada tim kami yang dengan gigih mampu melawan tim musuh 90 menit tanpa lelah. Kami sadar, kami ada di dalam lingkaran manipulasi federasi. Pengaturan kemenangan yang sangat memuakkan. Muncul pula wacana, jika kami mendukung tim yang bernanung di bawah federasi yang busuk, maka kami ikut mendukung federasi yang busuk itu. Kebimbangan, di satu sisi kami menolak federasi yang gagal menyuguhkan sepakbola sehat, di satu sisi kami tidak bisa lepas mendukung tim yang kami banggakan.
Wacana kebingungan malang melintang di markas suporter, bagaimana harus bertindak. Apakah tetap mendukung tim di bawah federasi kotor, atau berhenti dan merelakan kecintaan. Sampai seorang teman yang pendiam angkat bicara. Tidak peduli apakah federasi ikut terdukung ketika kita mendukung tim yang kita cintai. Kita tetap mendukung tim dengan keadaan apapun. Kecintaan tidak pernah bisa dibendung. Dan tidak pernah butuh alasan, cinta tetap cinta.
tetap bernyanyi dan berdiri,
kemenangan berpihak pada jiwa yang berani

Minggu, 16 Januari 2011

#9

Selama ada niat, bagaimanapun caranya kamu akan datang ke stadion (Aditio Chrisnugroho)

Awal tahun benar-benar menjadi hidup yang sibuk. Bukan karena jadwal ujian yang tertunda, tapi karena jadwal pertandingan sepakbola. Partai kandang tidak dianggap menjadi masalah, namun 2 partai tandang dalam satu minggu dan 1 partai tandang lagi pada minggu berikutnya adalah hal yang berat sebenarnya. Masalah utama masih klasik seperti masalah semua orang di dunia, dana. Partai tandang dipenuhi dengan anggaran lebih untuk perjalanan. Mau tidak mau, harus ada pengorbanan lebih pada partai tandang. Selain dana, meluangkan waktu juga menjadi pikiran dalam menghadiri partai kandang. Sebenarnya naif jika berbicara pengorbanan, semua orang punya pengorbanannya sendiri-sendiri untuk menghadiri partai tandang.

Partai tandang pertama tahun ini, keuangan sedang mencekik. Kelompok suporter saya merencanakan berangkat menggunakan bus sewaan. Dan dananya tidak kecil bagi keuangan saya yang mencekik. Terpaksalah saya berhutang uang demi menghadiri partai tandang. Hasilnya kami kalah 2-0, dengan keputusan wasit yang paling mencengangkan sepanjang pertandingan. Gila. Wasit gila. Gila uang. Keputusan yang diambil oleh wasit benar-benar tidak menguntungkan tim kesayangan saya. Tapi ya sudahlah, memang seperti itu partai tandang. Sudah biasa. Dan kami bernyanyi 2x45 menit. Benar-benar 2x45 menit. Tanpa henti.

Tandang kedua tidak jauh beda. Menggunakan bus sewaan lagi, namun dengan biaya yang lebih besar. Saya diharuskan untuk berhutang lagi, tapi tidak mungkin, saya takut tidak terbayar. Hutang saya sudah terlalu banyak. Tapi saya ingin berangkat. Sungguh ingin. Dompet saya tidak ada isinya. Pikiran saya masih berputar-putar ingin menghadiri partai kandang kedua tahun ini. Sampai seorang teman mengajak saya, "pokoknya asal kamu berangkat dululah." Pukul 03.00 kami semua sudah berkumpul untuk berangkat menghadiri partai tandang ini. Saya sempat pulang terlebih dahulu untuk mengecek keuangan saya di rumah, namun nihil. Saya terpaksa berangkat tanpa membawa sepeser uang pun.

Tandang kedua ini tidak bisa saya lewatkan, tahun kemarin saya juga menghadiri partai ini dengan tanpa uang pula. Apalagi suporter tuan rumah terkenal suka bikin onar. Kami sebagai suporter tertantang untuk memberi dukungan nyata bagi tim. Menemani tim dalam lawatan ke luar kota. Dan terjawab, tim tuan rumah mencetak gol pertama, hujan batu dan botol mewarnai lagu-lagu kami. Lempar-lemparan terpaksa dilakukan, bukan apa-apa, tapi kami tidak mau tertahan dengan berdiam diri. Apalagi setelah tim kami mampu menyamakan kedudukan. Semakin panas saja. Dalam benak kami semua, 1 poin sudah cukup untuk partai tandang. Kami bernyanyi semakin keras agar tim juga bersemangat menyelesaikan pertandingan. Sampai akhirnya gol kedua tuan rumah dicetak. Kami tertegun sejenak, sampai lemparan batu mencairkan lamunan kami. Kembali kami harus lempar-lemparan batu. Kami tidak tau kenapa, tapi ini harus terjadi. Sebagai pembelaan diri kami. Kami menolak dibantai di kandang lawan. Keadaan semakin panas sampai kami semua terpaksa diungsikan masuk ke lapangan dan pulang dengan kawalan polisi. Kalah lagi, kali ini 2-1. Tapi kebanggaan kami tidak berkurang sedikitpun pada tim. 

Kami masih bangga, saya masih bangga menjadi bagian dari pendukung tim ini. tim yang tidak besar, namun saya mencintainya. Uang tidak menghalangi kami untuk datang. Waktu seakan tidak terbatas untuk kami bernyanyi mendukung tim yang kami banggakan.

Rabu, 05 Januari 2011

Bertahan

Punk jangan sampai jadi sejarah (Kolicklinick)

Ga banyak komunitas yang asik buat saya. Hanya beberapa saja. Saya sudah coba banyak komunitas dan kadar asiknya berbeda-beda. Asik buat saya ga cuma bisa seneng-seneng bareng-bareng, tapi lebih ke persaudaraan dan sepenanggungan bareng. Yah, beberapa komunitas itu ya Ultras, Antro, De Britto, dan Kridosono punkrock. Yang terakhir saya anggap paling spesial. Kenapa? Soalnya saya belajar memilih satu pilihan buat hidup saya di komunitas ini. Saya belajar. Saya bahkan sampai tidak bisa ingat kenapa Kridosono begitu berkesan bagi saya, memorinya terlalu banyak. Padahal cuma dimulai dari kumpul malem minggu sampe minggu pagi..terus begitu bertahun-tahun sampai persaudaraan ini masuk ke hari-hari biasa saya. Menjadi kuat, ya, menjadi kuat jadi pesan utamanya.

(ga jelas ni tulisan saya, biarlah)

Terlalu random tulisan saya ini. Tapi saya jelas terkesan dengan masa 4 tahun itu. saya aktif di sana kira-kira 4 tahun saja dan ini sudah tahun kedua saya vakum. Tahun kelima Kridosono mengalami penurunan drastis. Hampir mati saya rasa. Anggota yang berceceran kemana-mana, kesibukan, dan anggota-anggota tua yang "pensiun" untuk mengurusi keluarganya jadi faktor yang buat Kridosono mengecil eksistensinya di jalanan.

Saya ingat betul saat bertahan hidup dengan sebatang rokok. Menyisakan malam itu untuk cerita-cerita. kami tertahan oleh cerita. Jika kami tertidur, habis imajinasi kami saat itu tentang dunia. Kami juga bertahan saat pukulan demi pukulan datang. Ya, kami tidak peduli dan kami masih bertahan. Sampai tempo hari saya mendapat pesan singkat dari om kolik. Intinya ya agar kami semua berkumpul lagi di Kridosono punkrock. Ya, saya tidak bisa lupa begitu saja dengan kejayaan kami dulu, dan kami butuh bangkit. Bukan untuk menjadi besar, tapi untuk terus hidup.




Tulisan ini sebagai reminder saya
agar tidak lupa pada jalanan
yang mengajarkan saya untuk peka,
Cheers


Selasa, 04 Januari 2011

#8

We're not a Movie Stars (PGWear, clothing company internasional bagi suporter)

Sepakbola sedang menjadi sorotan di Indonesia. AFF lah penyebabnya. Penuh gebrakan dalam kompetisi Asia Tenggara kali ini. Pertama, Indonesia menjadi tuan rumahnya, otomatis sekali akan dekat bagi rakyat Indonesia untuk menonton pertandingan sepakbola. Kedua, pertandingan pertama bagi Indonesia adalah melawan Malaysia. Berhenti dulu sampai sini. Partai pertama yang sangat ditunggu-tunggu ditambah dengan pertandingan yang digelar di kandang sendiri. Tak heran animo masyarakat meledak-ledak. Apalagi ditambah dengan kemenangan besar di babak awal.

Berita demi berita tentang kemenangan timnas Indonesia terus saja diputar di segala media. Akibatnya, banyak masyarakat yang semula apatis dengan sepakbola Indonesia mulai melirikkan matanya untuk menengok prestasi timnas. Alasannya bukan hanya satu, saya menyoroti dua saja. Pertama, Indonesia beserta rakyatnya sudah rindu gelar dan kemenangan, dan kemenangan besar atas Malaysia di pertandingan pertama mengangkat derajat timnas Indonesia lantaran Malaysia juga erupakan musuh politik dan budaya bagi Indonesia. Alasan kedua karena masuknya pemain baru yang handal dan tampan, mengangkat imej timnas semakin baik di mata masyarakat.

Sorotan publik banyak diarahkan pada timnas dan suporter yang datang mendukung dalam pertandingan di Gelora Bung Karno. Media seakan hanya punya satu tujuan berita kala itu. Timnas dan suporter. Hal ini ternyata tidak hanya menjadi hal hingar bingar di Indonesia, di belakangnya, pelatih timnas Alfred Riedl muring-muring. Anah asuhnya kekurangan waktu untuk latian dan istirahat akibat besarnya arahan kamera pada timnas. Belum lagi ekspektasi besar dari masyarakat agar timnas menjuarai AFF. Suporter-suporter juga ramai diwawancarai di televisi. Ramai-ramai nongol di media. Beradu eksistensi.

Ribuan masyarakat mendadak mengaku jadi suporter timnas, padahal banyak di antara mereka yang belum pernah jadi suporter di tanahnya sendiri, belum pernah mencicipi dunia suporter bagi tim lokalnya. Suporter yang tiap tahun mendukung di GBK jadi tersingkir. tersingkirkan oleh suporter dadakan yang berdandan sebelum masuk ke stadion. Suporter-suporter lama yang setia mendukung dari jaman Indonesia belum menangan jadi tersingkir. Stadion GBK penuh artis, plus penuh orang sok ngartis.

Hey, ini sepakbola. Tidak butuh orang yang mendadak mengaku peduli. Sepakbola tidak butuh media massa. Sepakbola tidak butuh kegiatan politis, sepakbola bukan tempat hang out. Kamu tampan, kamu kaya, kamu keren, tidak berlaku dalam sepakbola. Sepakbola pada dasarnya adalah pertarungan. Dan tidak perlu muncul acap kali di televisi, tidak perlu orang-orang semua tau kamu menonton di stadion. Sepakbola hanya butuh teriakan dukungan dari suporter kepada tim yang mereka banggakan.
tidak perlu tau siapa saya, siapa anda, siapa kita, siapa mereka.
suporter hanya butuh berteriak, bernyanyi bagi tim kebanggaan